(Diinspirasikan oleh novel Rontok karya Seniman Negara Arena Wati)@highlight
Di tepian pantai Sabah, di mana ombak memeluk pasir lusuh, Umar dan Tijah melangkah dalam bisu. Rasa lapar mengacah nadi, tetapi senyum mereka masih terpelihara—seumpama mawar tumbuh di tengah debu. Gubuk reyot di hujung kampung menjadi istana sementara, di mana mereka menadah harap pada langit dan doa yang tidak pernah putus.
Setiap fajar, Umar mengutip serangga kering sebagai santapan rehat, manakala Tijah mengais limpahan air hujan dalam bekas lusuh untuk diminum. Di mata mereka, dunia ini lapang, tetapi tiada siapa yang sudi menawarkan sekeping roti. Mereka berlari bagai bayang dalam lorong sempit, terlakar di dinding masyarakat yang menutup pintu.
Pada petang muram, sekumpulan penyelidik putih tiba, kameranya berkilat, nota mereka tebal. Mereka menunjuk dan mencatat, tanpa menoleh untuk menyuapi anak kecil yang kehausan. Tijah mengibaskan kepala, air mata tertahan di palung pipinya. “Mereka datang untuk ilmu,” bisik Umar, “namun jiwa kita hanya menjadi statistik.”
Di malam sunyi, unggas berhenti berkicau. Suara anak kecil bergema di antara rongga jiwa kampung—suara yang terlalu halus untuk didengari, namun terlalu kuat untuk dilupakan. Awan mendung menitis perlahan, seolah bersedih bersama. Umar menggenggam tangan Tijah, memeluk keberanian meski kelaparan merajam.
Malam itu, mereka bermimpi tentang padang hijau, tentang garisan hidup yang tidak lagi retak. Debu di kaki mereka menari, membawa pesan pada siapa sudi mendengar: kemanusiaan rontok ketika kita lupa membela yang paling kecil. Dan di sanubari Sabah dan perut Semporna, tangisan roda tak terlihat itu terus berputar, menuntut kita memperbaiki jiwa yang retak.
[Ini kisah sekumpulan kanak-kanak tanpa status tanpa sanak saudara, terdampar di bumi sendiri yang tidak memberi ruang. Mereka berjuang mencari makan, air bersih, dan selimut reot. Sementara itu, penyelidik Barat hanya lalu, mencatat data untuk tesis, tanpa menaruh hormat atau belas pada nyawa kecil yang kelaparan.
Ini adalah teguran pedih kepada masyarakat yang terlalu sibuk dengan urusan sendiri dan pihak luar yang sekadar memanfaatkan kisah mereka untuk pencapaian akademik tanpa kemanusiaan.
Novel yang pertama kali saya baca 40 tahun yang lalu selepas sebaik sahaja siap Penilaian Darjah 5 pada tahun 1984, yang membuka minat saya kepada dunia buku dan penulisan.]
Catatan Novel Pak Ari
No comments:
Post a Comment